Monday, March 26, 2018

The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 13 Bahasa Indonesia


Chapter 13 – Trance Labyrinth ①




Terdapat dua dewi di dunia ini. Akan tetapi, mereka saling berseteru.

Dewi Claria. Dewi hebat yang disembah oleh seluruh umat manusia. Disanjung akan kecantikannya selama berabad-abad, dikabarkan kalau dia adalah wanita mengagumkan yang penuh kasih sayang.

Lalu ada dewi yang bertentangan terhadap dewi tersebut.

Namanya ialah Messiah. Perwujudan dari kejahatan, dia mengendalikan para demon. Menyebabkan berbagai macam kekejaman, dia menyerang kota-kota dan merenggutnya demi kepentingannya sendiri. Dikabarkan kalau dia tak menyisakan satu korban pun yang selamat.

Pertikaian kedua dewi tersebut melibatkan seluruh dunia dalam perseteruan mereka.

Claria, demi melindungi rakyatnya. Messiah, demi menguasai dunia.

Kekuatan mereka hampir seimbang, namun keseimbangan tersebut tiba-tiba berubah drastis karena adanya keberadaan tertentu.

Keberadaan itu ialah Pahlawan Terias.

Seusai menerima karunia sucinya Claria, ia memperolehkemampuan yang kuat dan menggunakannya untuk mengalahkan setiap demon yang diutus Messiah padanya.

Lalu, pada akhirnya, Claria dan Pahlawan pun berhasil menyegel Messiah.

Rostalgia pun mengalami perdamaian sekali lagi—

***

            "—Phew....."

Kututup buku yang kubaca.

Aku memperoleh pengetahuan yang kuinginkan dengan buku sejarah dunia ini.

Kini kuberada di lantai empat perpustakaan kerajaan, bagian dari wilayah sejarah.

Ada sesuatu yang ingin kulakukan sebelum kami pergi ke dungeon selanjutnya, jadi aku masih berada di Wrystonia.

Untuk tempat tinggal, kami memesan tiga kamar di sebuah penginapan. Untuk membayarnya, kugadaikan permata miliknya Leadred.

Keuangan seorang Penjaga sungguh berbeda, ya.

Memasuki perpustakaan kerajaan juga memerlukan biaya masuk, dan aku mendapatkannya juga dari Leadred.

Apa pun yang budak miliki adalah milik majikannya juga. Aku seharusnya tak memedulikannya. Aku seharusnya tak memedulikanya.... sama sekali.....

Saat aku membaca dan berusaha menentang pertentangan mengenai harga diriku sebagai seorang lelaki, seseorang datang dari belakangku dan berbicara.

            "Daichi. Semuanya sudah siap"

Nama gadis itu ialah Hamakaze Shuri. Budak pertamaku.

Kelihatannya dia sudah menyelesaikan tugas yang dia tentukan sendiri.

            "Beneran sudah?"

Kuletakkan buku pada tumpukan buku di sebelahku dan meraih tangannya.

            "Kalau begitu, beritahu aku"

            "Tentu! Dengan senang hati"

Hamakaze mendekap di dekatku.

...... Terasa nyaman, jadinya aku tak mengatakan apa pun.... meski tak perlu dikatakan lagi kalau kami terlihat membuat orang lain iri.

Apa yang Hamakaze maksud adalah imbalan yang kujanjikan padanya sebelumnya.

Dia tak mengenakan pakaian petualang biasanya. Belakangan ini, dia mengenakan pakaian pelayan. Sama halnya dengan Leadred.

Saat kutanya kenapa mereka mengenekan itu, Hamakaze menjawab dengan berkata kalau dia dengar laki-laki menyukai hal semacam itu.

Sama sekali tak jauh berbeda dengan perbuhan sikap yang dia lakukan saat di dungeon.

            "Kau punya selera yang aneh, ya? Ingin bersama lelaki sepertiku....."

Untuk imbalannya, Hamakaze memutuskan untuk meminta supaya kami bersama untuk seharian. Dengan kata lain, dia ingin bersamaku.

            "Jahatnya"

            "Memangnya kenapa?"

            "Kau seharusnya tahu perasaanku"

            ".... Aku tak tahu"

Belakangan ini, sikap Hamakaze mulai lebih agresif. Aku tahu kenapa. Aku juga tahu apa yang dirasakannya.

Dia berada dalam posisi di mana dia bisa dibuang kapan pun.

Pemikiran itu pasti memenuhi pikirannya. Bahkan dulu aku juga pernah seperti itu.

Bertingkah konyol supaya kau takkan dibenci. Mengenakan banyak topeng yang kau perlukan.

Kontak fisik ini hanyalah bagian dari hal tersebut. Makanya, aku tak mengharapkan sesuatu yang aneh. Saat ini, Hamakaze sendirilah yang paling menderita.

Walaupun benar, masalahnya adalah aku tak bisa melepaskan Hamakaze dari rantainya—dariku.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menemaninya seperti ini.

            "Jadi, apa yang akan kita lakukan? Tak perlu menahan diri, hari ini aku adalah milikmu"

            "Benar.... umm"

Dia terhenti sejenak. Akan tetapi, dia melanjutkannya sembari sesekali melirik padaku.

            "Terus terang saja, aku cuma ingin pergi ke satu tempat. Aku ingin pergi ke sana bersamamu sepanjang waktu ini"

            "Kenapa tidak minta saja dengan imbalanmu"

            "Tidak, kalau seperti itu aku rugi"

            "Kau cukup tak tahu malu, ya?"

            "Kurasa itu salahmu juga, Daichi"

Mungkin benar, jadinya aku tak bisa mengatakan apa pun untuk menanggapinya.

            "Kalau begitu, kau ingin pergi ke mana?"

            ".... Tolong jangan bilang tidak, ya?"

            "Aku takkan ikar janji, katakan saja"

            "Baiklah. Tempat yang ingin kukunjungi adalah......"

Setelah terhenti sejenak, senyumannya Hamakaze terlihat kesepian sebelum memberitahuku tempatnya.

            "—Istana Kerajaan"



Semenjak datang ke sini, semua yang kudapati hanyalah hal-hal aneh. Berjuang sendirian, menderita, dibuang, dan dimakan.

Itulah tempat segalanya berawal.

Istana Kerajaan Wrystonia.

            "Wow, masih terlihat besar, ya?"

Mungkin dibentengi untuk melawan serangan yang datang, gerbangnya cukup besar.

Aku tak mendengar tanggapan apa pun. Tak ada orang lain di sekitar kami. Tempat ini sunyi.

            "........"

Dia terus menatap ke satu tempat.

Aku tak tahu apa yang spesial dari tempat itu, tapi kurasa itu bukan sesuatu yang perlu kuketahui.

            "........"

Dia tetap berdiri membisu, menatap tempat itu.

Bagaikan boneka. Seperti sudah kehilangan jiwanya.

Air mata menetes jatuh pada pipinya.

Aku penasaran apa yang dipikirkannya?

Biasanya, taklah aneh baginya untuk berada di sini. Dari apa yang kupahami, dia jadi rekanku di dungeon karena hanya takut mati.

Sama halnya dengan balas dendam dan niat baiknya padaku, dia mungkin berbuat begitu hanya untuk terus bertahan hidup.

Jadi saat dia bilang ingin pergi ke sini, semua yang bisa kurasakan hanyalah perasaan dingin.

            "......."

Dadaku terasa sakit.

Hanya sesaat saja, tapi rasanya butuh waktu yang lama saat dia berbalik padaku.

            ".... Daichi"

            "Apa?"

            "..... Aku senang bisa kembali ke sini"

            "Kenapa?"

——Karena aku bisa melihat yang lainnya lagi.

Hanya itu perkataan selanjutnya yang bisa kubayangkan.

Tapi perkiraanku ternyata salah.

            "—Karena kutahu kalau perasaanku ini nyata"

Hamakaze tersenyum.

Dia berlari menghampiriku, yang terdiam di sana dengan keheranan, dan memelukku.

Pikiranku pun akhirnya berjalan kembali.

            "Hamakaze?"

            "Aku melihat Samejima dari sini"

            "..... Jadi kau ingin bilang kalau perasaanmu padanya itu nyata?"

Saat kuberkata begitu, Hamakaze nampak terkejut.

            "Bukan begitu..... tunggu, apa kau cemburu?"

Meski dia segera kembali tersenyum, senyumannya seolah menggodaku.

Tidak, hanya saja, yah, itu. Aku hanya ingin memastikan kalau perasaannya itu apa memang benar untukku atau bukan, supaya tak menjadi kesalahpahaman yang mengerikan seperti yang kulakukan dulu. Aku hanya ingin memastikannya!

            "Pokoknya, kalau memang bukan begitu, lalu untuk siapa?"

            "Kau ini cukup berputar-putar ya, Daichi"

            "Meski kau juga sudah tahu, ya?"

            "Ya. Tapi, Katsuragi.... itulah yang kusuka darimu"

            "——"

Sebuah pengakuan yang mengejutkan.

Pikiranku terhenti lagi.

            "Aku tahu kalau aku ini egois, tapi tolong dengarkanlah aku"

Dia menatap mataku.

            "Katsuragi, aku suka kau yang tetap baik padaku meski aku banyak mengeluh dan berkata hal-hal buruk"

            "Itu cuma perasaanmu saja. Kau masih bisa menarik kembali ucapanmu itu"

            "Katsuragi, aku suka kau yang selalu berjuang untuk menjadi lebih kuat supaya aku takkan mati"

            "A-Aku cuma ingin mempunyai alat yang kuat saja. Aku sama sekali tak memikirkanmu"

            "Demi itu, kau bahkan mengalami peranan yang megerikan. Katsuragi, aku suka karena kau memberikanku alasan untuk hidup"

"T-Tidak.... aku cuma......"

Dia menutup mulutku dengan jarinya.

            "Katsuragi, tak peduli apa yang kau katakan atau pikirkan, itu tak masalah. Perasaanku padamu takkan berubah"

Dia mendekatkan wajahnya pada wajahku.

..... Tak peduli berapa kali kumenatapnya, dia begitu cantik.

Pipinya agak berwarna merah muda, matanya basah akan air mata. Rambut hitamnya yang terkirai-kirai, bibir merah mudanya yang halus.

Tatapannya mulai memanas. Pada jarak di mana kubisa mendengar napasnya, hidungnya menyentuh bibirku.

Bibir kami saling bersentuhan.

            "Aku mencintaimu, Katsuragi"

Ciuman keduaku dari dirinya terasa manis.

            "Hamakaze, kau....."

Haruskah aku mempercayainya?

Tidak, bukan begitu. Berpikir begitu taklah baik.

Apa yang kulakukan sekarang adalah meragukan seseorang yang sudah banyak menunjukkan niat baiknya padaku?

            "...... Maukah kau menerimaku?"

Itu adalah pertanyaan serupa yang dia tanyakan sebelumnya.

Kali ini, aku tak bisa menjawabnya setengah-setengah.

Dia menginginkanku. Inilah pertama kalinya aku diinginkan oleh seseorang.

—Tidak, bukan begitu. Berhentilah mencoba mencari alasan. Aku sudah tahu, ‘kan?

Tepat di sini.... di sini adalah gadis yang mungkin akan menjadi orang yang spesial bagiku.

            "Shuri"

Kutepuk kepalanya. Lalu, kugerakkan tanganku ke bawah melalui rambut dan menuju bahunya.

Aku bisa merasakan dia gemetar lewat jariku. Dia gugup. Atau mungkin aku yang gemetaran?

            "......."

Hamakaze memejamkan matanya. Aku tahu apa maksudnya.

Dia sedang menunggu.

Untukku..

            "..... Shuri"

            "....... Nn"

Kali ini, akulah orang yang menciumnya. Aku mendekatkan wajahku—


⟵Back         Main          Next⟶




Related Posts

The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 13 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh